DIA KEMBALI! Mantan Artis Ini Bikin Geger dengan Penampilannya Sekarang!
Di gang sempit Kota Semarang, aroma gorengan hangat selalu tercium sejak pukul lima pagi. Suara minyak mendesis bersahutan dengan azan subuh. Di situlah seorang ibu bernama Bu Ranti, 52 tahun, mengayuh hidup dari satu kuali ke kuali lainnya. mg 4d Tapi siapa sangka, dari gorengan sederhana itu, lahirlah anak yang menggebrak dunia: Rafi Iskandar, 19 tahun, anak pertama penjual gorengan keliling yang baru saja diterima di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Dan ketika tiket pesawat itu sampai ke tangannya, dunia seakan berhenti berputar. Karena untuk pertama kalinya, seorang ibu yang tak pernah naik lift, kini harus melepas anaknya ke langit tinggi demi ilmu.
Setiap Pagi Dimulai dengan Harapan yang Digoreng Bersama Mimpi
Rafi tumbuh dalam keterbatasan. Rumahnya cuma satu kamar, tanpa kamar mandi di dalam, beratap seng bolong yang bocor saat hujan. Tapi meski sempit, rumah itu penuh dengan semangat. Setiap pagi, ia membantu ibunya menggoreng bakwan dan tahu isi, lalu menjajakan dagangan itu keliling kompleks.
Ia ingat betul saat harus menolak ajakan teman main karena harus bantu ibu. “Aku malu waktu kecil,” katanya pelan. “Tapi makin besar, aku sadar… bukan aku yang harus malu. Mereka yang harus malu kalau tak hormati ibunya.”
Rafi belajar di bawah lampu minyak saat listrik sering padam. Ia membaca buku bekas dari pasar loak, dan sesekali mencuri waktu di warnet cuma buat download jurnal internasional. “Aku pengen kuliah, Bu,” katanya suatu malam sambil menggenggam tangan ibunya. “Tapi bukan kuliah sembarangan. Aku pengen ke tempat yang orang bilang mustahil.”
Peringkat 1 Terus, Tapi Selalu Dibilang Sok Pintar
Di sekolah, Rafi bukan anak populer. Ia pendiam, kutu buku, dan selalu duduk di depan. Teman-temannya sering mengejek, “Buat apa pintar, Raf? Kamu cuma anak penjual gorengan!”
Tapi ia diam saja. Setiap hinaan ia telan bulat-bulat dan jadikan bahan bakar. Nilainya tak pernah turun. Ia juara olimpiade matematika, fisika, dan bahkan menulis esai ilmiah tentang ekonomi mikro pasar tradisional yang viral di kalangan akademisi. Tapi tetap saja, lingkungan seolah menolak mimpi sebesar itu.
Sampai suatu hari, ia menemukan satu info di mading sekolah: beasiswa penuh ke Harvard.
“Aku enggak ngerti caranya waktu itu,” katanya sambil tertawa. “Tapi aku bilang sama diri sendiri: ya udah, nekat aja.”
Tidur 3 Jam Sehari Demi Satu Aplikasi Online
Proses pendaftaran ke Harvard bukan main-main. Rafi harus bikin esai dalam bahasa Inggris, ujian TOEFL, SAT, dan bikin portofolio akademik. Tapi masalahnya: semua harus online, dan ia bahkan tak punya laptop. Ia pinjam laptop bekas dari guru matematikanya. Ia kerja malam jadi pencuci piring agar bisa bayar biaya ujian TOEFL.
Selama dua bulan, ia tidur hanya tiga jam sehari. Siang sekolah, sore bantu jualan gorengan, malam belajar, lalu ke warung kopi 24 jam untuk numpang Wi-Fi sambil mengisi formulir beasiswa.
Ibunya sempat menangis dan melarang. “Kamu enggak usah sampai segitunya, Nak. Kalau capek, enggak usah daftar.”
Tapi Rafi hanya senyum. “Bu, ini bukan buat aku. Ini buat Ibu juga.”
Jawaban Itu Datang di Tengah Hujan Deras
Tanggal 4 April 2025, hujan mengguyur Semarang tanpa henti. Rafi baru pulang dari mengantar pesanan gorengan saat ponselnya berbunyi. Email masuk. Pengirim: Harvard University.
Tangannya gemetar. Ia tak sanggup buka sendiri. Ia minta ibunya yang baca.
Dan saat kalimat “Congratulations! You’ve been admitted…” muncul, ibunya jatuh terduduk. Rafi teriak sekuat-kuatnya. Tangis pecah di rumah sempit itu. Tetangga berdatangan. Semua tak percaya. Anak penjual gorengan? Harvard?
Malam itu, mereka tak tidur. Bukan karena tak bisa, tapi karena dunia mereka baru saja berubah.
Tiket Pesawat Itu Bukan Sekadar Kertas
Seminggu sebelum keberangkatan, perwakilan dari yayasan beasiswa datang membawa tiket pesawat. Rafi menyerahkannya pada ibunya. Tapi saat sang ibu melihat nama anaknya tertera di atas logo Garuda dan tulisan “Jakarta – Boston”, ia menangis, tak bisa berhenti.
“Bu, ini tiket ke Harvard…”
Sang ibu hanya menggeleng. “Bukan, Nak. Ini tiket ke langit. Ke hidup baru. Ke mimpi yang Ibu enggak pernah berani bayangkan.”
Tetangga, RT, dan guru-guru sekolah datang melepasnya. Rafi mengenakan jaket tebal dan ransel hadiah dari alumni kampus yang kagum padanya. Saat naik mobil ke bandara, ibunya mengejar sambil membawa kotak nasi. “Jangan lupa makan. Di sana mungkin enggak ada tahu isi kayak Ibu bikin.”
Viral di Media Sosial, Semua Orang Terharu
Video perpisahan itu diunggah oleh Ardi, guru Bahasa Inggris Rafi. Dalam waktu 10 jam, video itu tembus 3 juta views. Netizen menangis bersama. Kolom komentar penuh haru.
“Saya enggak kenal dia, tapi saya bangga banget.”
“Bu Ranti bukan sekadar ibu. Dia ibu bangsa.”
“Rafi buktiin kalau mimpi enggak punya kasta.”
TV nasional meliput. Menteri Pendidikan menelepon langsung. Bahkan ada tawaran film dokumenter dari rumah produksi besar.
Tapi Rafi tetap rendah hati. “Saya enggak mau viral. Saya cuma pengen belajar. Dan kalau sudah selesai nanti, saya pulang. Karena tempatku tetap di sini.”
Di Harvard, Ia Tak Lupa Siapa Dirinya
Sekarang Rafi belajar di bawah bayang pohon tua Harvard Yard. Ia mengikuti kelas-kelas filsafat, ekonomi, dan energi berkelanjutan. Tapi setiap malam, ia video call ibunya. Kadang sambil makan roti, sambil tanya, “Bu, resep tahu isi itu gimana, sih?”
Suaranya masih lembut. Senyumnya masih sama. Ia sering cerita tentang teman-temannya dari India, Korea, Jerman. Tapi satu hal yang selalu ia ulang-ulang: “Aku enggak akan ganti, Bu. Aku tetap anak penjual gorengan.”
Ia bahkan sempat membuka diskusi tentang UMKM gorengan sebagai model mikroekonomi berkelanjutan dalam satu forum Harvard Asia Conference. Semua orang kagum.
Penutup: Mimpi Tak Pernah Tanyakan Kamu Anak Siapa
Kisah Rafi dan Bu Ranti bukan cuma tentang Harvard. Ini tentang kekuatan seorang ibu yang tak pernah menyerah. Tentang anak yang tak membiarkan kemiskinan membungkam cita-cita. Dan tentang tiket pesawat yang jadi saksi bahwa mimpi, kalau diperjuangkan, bisa terbang lebih tinggi dari awan.
Buat kamu yang hari ini merasa kecil, merasa sendirian, merasa tak mampu—ingatlah Rafi. Ingatlah ibu yang menggoreng tahu di pagi hari sambil menyimpan harapan dalam panas minyak mendidih. Dan ingatlah: dunia mungkin bilang mustahil, tapi Tuhan bilang, “Coba dulu.”
Karena mimpi, tak pernah tanya kamu anak siapa. Tapi dia selalu menunggu: siapa yang cukup berani untuk mengejarnya.